Translate

Selasa, 15 Oktober 2013

Listen to My Melody part.2




Cerpen
Written : Rike Riszki Yunitasari
Genre   : Romance, fiction








Disuatu waktu sebuah musibah besar terjadi pada ku, bukan padaku saja. Melainkan terjadi pada keluarga besar panti. Seorang malaikat telah meninggalkan kami semua. Tentu, kami sangat terpukul dan mengalami masa suram yang berlarut-larut. Kami belum bisa merelakan Bunda pergi meninggalkan kami. Saat itulah seluruh ‘keluarga’ kami berkumpul. Rumah yang memang ramai, kini menjadi sangat ramai. Mereka berdatangan dengan muka duka cita yang sangat dalam. Tak terkecuali Mereka, kedua orang sahabatku. Mereka datang membawa Rangkaian bunga duka cita untuk bunda. Namun. Hari ini, aku hanya sempat melihat saja, sahabat kecilku yang sangat aku rindu.

Keesokan harinya, ketika semua orang dirumah sibuk membereskan rumah dan mencoba saling menghibur satu sama lain. Sebuah mobil berhenti di halaman rumah. Ternyata Mereka datang lagi. Mereka membawa beberapa bungkusan plastik putih besar di tangan kanan dan kiri mereka.
“Melody.. Tolong bantu kak Hikmah nyiapin ini” Ucapan kak Doni ke arahku. Hanya itulah, kalimat pertama yang Ia ucapkan padaku ketika sudah tiga tahun tak bertemu sama sekali. Kini aku sudah memasuki tahun kedua di SMA, tentu aku sudah bisa bersikap dewasa. Aku menuruti ucapan Kak Doni. Menyiapkan berbagai makanan untuk makan kita bersama.
Seharian ini, tenaga ku terkuras dengan aktifitasku di dalam rumah. Rasa lelah di tubuh ini tak sebanding dengan rasa lelah di hati ku. Rasa lelah merindukan sosok bunda yang selalu memberi kehangatan di setiap hariku. Walaupun baru sehari bunda pergi, rasanya aku sudah sangat merindukannya. Suara dentuman langkah kaki mendekatiku. Aku masih terdiam menikmati senja sore di teras samping rumah.
“Apa kabar Cantik” Suara itu menarik perhatianku untuk melihat seseorang yang telah duduk di sampingku.
“Kak Doni” Singkatku tersenyum.
“Hahaa.. Gimana kabarnya cantik?”
“Menurut kakak?” Sapaan cantik untukku tentu membuat kedua pipiku memerah karena malu, karena memang kak Doni adalah Pria yang sangat tampan. Tubuhnya tinggi dan tegap. Kulitnya bersih dan putih sama seperti Dovi. Namun aku tetap mencoba tenang dan Aku kembali menatap langit senja yang lebih menarik perhatianku.
“Aku merasa bersalah dengan Bunda, seharusnya aku mengunjunginya lagi sebelum beliau pergi” Desah Kak Doni sambil ikut menatap langit senja.
“Kak Doni memang orang jahat”
“Hey..” Kak Doni mencubit hidungku.
“Minggu kemarin, waktu kamu Study Tour, kami ke sini” Kak Doni berkata sambil tertawa. Aku hanya membalasnya tersenyum.
Melody, Tolong beli’in Cemilan di luar” Suara Kak Hikmah dari belakang kami, membuat mood ku sedikit berkurang. Aku hanya sedikit memutar kan badan, dan hanya melirik ke arah kak Hikmah .
“Yah Kak.. Kan udah banyak makanan di Rumah” Aku mencari alasan agar tidak berangkat.
“Adik-adik kamu pada minta makan martabak cokelat.. Lagian sekalian beli vitamin di apotik.. Kan ada Doni.. Dianterin Doni aja.. Mau kan Don?” Kak Hikmah mulai jengkel padaku.
“Aduh Maaf kak.. Tangan ku kemarin terkilir, belum sembuh total. Biar Divo aja yang ngaterin” Kak Doni mulai bangkit dari duduknya.
“Melody.. Kamu siap-siap aja, biar aku yang bilang ke Divo” Ucap Kak Doni dengan begitu saja, berjalan ke dalam rumah. Aku yang masih merasa bingung dengan apa yang akan aku lakukan, hanya terdiam dan mencoba menginggat terakhir kali aku bertemu Divo. Waktu itu ketika aku pulang dari sekolah, melihatnya membaca catatan buku diary ku. Aku sangat marah padanya.Mengutuknya untuk menjauh selamanya dariku. Oh Tuhan.. waktu itu aku masih kekanak-kanakan. Andai waktu bisa aku putar, aku ingin menarik lagi ucapanku.
“Kok masih bengong.. Udah ditunggu Divo di mobil” Suara kak Doni membuyarkan lamunanku. Dengan perasaan masih tak karuan, aku menuju ke arah salah satu mobil yang terparkir di halaman rumah. Benar saja, disana sudah ada Divo yang menunggu di dalam mobil.
Tibalah kami disebuah mall terbesar di kota ini. Kami berjalan beriringan, namun sampai sekarang kita masih terdiam. Dia hanya mengikutiku dari samping. Ketika aku berbelok, dia juga akan berbelok, ketika aku berhenti, dia juga berhenti. Rasanya seperti berkeliling di mall bersama paneki berjalan. Karena hanya pernah sekali aku mendatangi mall ini, aku hanya berjalan berdasarkan feeling, mencari Bread Shop yang menyediakan makanan yang dipesan kak Hikmah. Ini sudah lantai ke lima, namun Bread Shop yang aku cari tak kunjung terlihat.
“Mau cari apaan sih?” Suara Divo di sampingku membuat kakiku berhenti.
“Bread Shop” Jawabku sambil gugup.
“Bread Shop kan di lantai 2” Jawabnya berdiri di depanku.
Maaf.. Gak tau” Jawabku sambil menunjukkan senyuman terpolos yang mungkin terlihat seperti senyuman yang terpaksa.
“Kenapa gak Tanya? Ikuti gue aja” Kini Divo berjalan di depanku. Aku masih mengikuti langkah Divo hingga masuk di dalam Bread Shop. Melihat deretan bermacam Roti, kue dan snack di meja-meja kaca. Dengan semangat aku mengambil nampan dan penjepit untuk mengambil pesanan Kak Hikmah. Tak tertinggal juga, aku memilih beberapa roti coklat favoridku. Nampan yang aku bawa kini penuh dengan tumbukan roti,kue dan snack. Setelah meletakkan nampan di meja kasir, muncul satu masalah besar yang baru aku sadari. Aku menarik lengan Divo yang berdiri di pojok Bread Shop, dan membisikkan sesuatu yang sangat serius.
“Divo, Aku lupa bawa dompet” Ucapku sedikit panik. Divo hanya tertawa sebentar lalu menuju meja kasir.
“Makan dulu yuk” Ajak Divo ketika keluar dari Bread Shop. Aku hanya mengangguk sekali. Kini, aku seperti mendapat Sahabat kecil ku kembali. Divo ku telah kembali. Hubunganku dengan Divo mulai membaik. Namun Divo yang sekarang sedikit berubah. Dia tlah menjadi pemuda dewasa. Dia kini sudah menjadi Mahasiswa jurusan Hukum. Cara berpikirnya sangat kritis dan memiliki logat bicara seperti orang kota.
“Itu sih urusan elo, gue gak ikutan ah” Ucap divo ketika mulai menggodaku.
Sifat Divo yang dulu ternyata masih ada. Sifatnya yang suka membuatku kesal, namun kali ini aku tidak menanggis lagi, aku hanya menanggapinya dengan tepukan di pundaknya ketika aku mulai marah. Setelah kepergian Bunda, Divo sering berkunjung ke Rumah. Tak jarang pula dia menginap dirumah. Seakan muncul semacam energi positif dalam hidupku.

@@@

“Tiiiinnn….” Suara klakson mobil yang berhenti di halaman depan Rumah membuyarkan lamunanku. Itu pasti suara mobil seseorang yang sedang aku tunggu kedatangannya. Bergegas aku menghampiri mobil berwarna hitam yang sudah parkir. Seorang lelaki dengan memakai setelan kemeja panjang dan celana jeans berdiri di samping  pintu mobil. Dengan senyuman lebar di bibirku, aku setengah berlari ke arah lelaki itu. Lelaki itu mengulurkan kedua tangannya, aku pun dengan senang hati mendaratkan pelukan rasa rindu padanya.
“Kenapa lama banget” Bisikku padanya dengan masih memeluknya.
“Maaf.. Tadi mancet”
Aku melepaskan pelukanku dan menatap lekat wajahnya yang sangat aku rindu.
“Berangkat sekarang yuuk” Ajaknya dan dengan cepat aku mengangguk.
“Silahkan tuan putri” Lelaki itu membukaan pintu untukku. Aku hanya tertawa dan masuk dalam mobilnya. Aku duduk di kursi penumpang depan. Aku terus menatap lelaki itu yang sedang konsentrasi mengemudi.
“Jangan diliatin terus.. Nanti aku grogi” Ucap lelaki itu sambil terus menatap ke arah depan.
“Hahaaa” Aku hanya tertawa renyah dan melempar pandanganku ke depan.
“Emang udah Kangen banget ya?” Tanya lelaki itu.
“Um.. Kita udah sebulan lebih gak ketemu”
“Bukan ama aku, tapi ama Divo” Tak ada jawaban yang keluar dari bibirku selain senyuman. Aku melempar pandanganku ke luar jendela sampingku. Terlihat ruko berwarna-warni berjejer rapi di pinggir jalan. Tak sedikit segerombolan orang yang sedang duduk di bawah pohon besar untuk berteduh dari panasnya cahaya matahari. Siang yang panas. Seperti siang pada waktu itu. Terik matahari tak segan-segan membakar kulit, aku dan Divo berjalan di atas trotoar. Kami dalam perjalanan pulang dari tempat kerja kak Hikmah. Kami mengobrol banyak hal, mengenang masa lalu, berbagi pengalaman, bercerita tentang ‘Rumah’ kami, dan mengomentari hal-hal kecil di sekitar kami. Ditengah perjalan, kami mampir di sebuah food court mall yang kami lewati. Setelah kami makan, Divo memintaku menunggu di meja food court, sedangkan dia akan membeli beberapa buku.
“Beneran nih, gak perlu ditemenin?” Sekali lagi aku menawarkan bantuan.
“Gak usah.. Tunggu aja bentar” Ucapnya sambil bergegas pergi dari kursi di hadapanku. Tak lama, Divo kembali dengan membawa kantung plastic putih di tangannya. Itu pasti buku-buku kuliahnya.
Hari sudah beranjak sore, kami memutuskan untuk pulang. Dengan mengunakan taksi, Divo mengantarkanku hingga di depan halaman rumah.
“Aku langsung pulang aja ya, lagi banyak tugas” Pamit Divo.
“Iya.. Hati-hati yaa”
“Oya.. Ini buat kamu” Divo menyodorkan sebuah buku yang terbungkus kantung plastic putih.
“Buku ini bagus kok.. Baca aja” Divo lagi-lagi tersenyum sangat manis, senyuman yang sangat aku suka.
“Makasih” Singkat ku dan keluar dari dalam taksi. Aku melambaikan tangan pada taksi yang semakin menjauh dari ku. Aku terus menatap taksi itu hingga menghilang dari pandanganku. Namun aku masih berdiri di tempat, masih menatap ke depan. Masih berdiri dengan penuh harapan, taksi yang ditumpangin Divo memutar balik dan menuju ke arahku. Walaupun, seharian penuh bersama Divo. Rasanya, Aku masih ingin bersama Divo. Berbicara lebih banyak hal lagi dengan Divo, melihat lebih lama lagi senyuman manis di wajah Divo, mendengar lebih sering lagi suara Divo.

@@@

          Mobil Kak Doni akhirnya berhenti di depan gerbang sebuah rumah yang sangat besar. Di Rumah ini lah, terakhir kalinya aku bertemu dengan Dovi. Aku mulai masuk ke dalam rumah, dengan langkah gontai. Kak Doni yang berjalan di belakang, sesekali menempuk pundakku memberi isyarat, memastikan aku masih dalam keadaan baik-baik saja. Dari Jauh, tampak Dovi yang terdiam menatapku. Di terus menatapku yang menuju ke arahnya. Ketika jarak kami makin dekat, Dia tersenyum manis dan seolah-olah berkata ‘Kenapa baru datang sekarang?’ ‘Aku sudah menunggumu lama’ ‘Aku sangat merindukanmu’. Air mata dengan sendirinya mengucur deras. Aku duduk tersungkur tepat di hadapan Dovi. Aku membelai kepalanya, mengusap badannya dan tersenyum padanya, walaupun air mataku masih mengucur deras. Aku mengeluarkan buku yang Ia berikan padaku di hari terakhir kali aku melihat senyumannya. Buku itu memiliki cover berwarna putih dan tertera judul “I Love My Melody”. Itu adalah Novel karya terakhir yang ditulis Divo. Dalam buku itu bercerita tentang rasa sayang Seorang Pria sejak kecil, dan berubah menjadi rasa cinta pada gadis yang bernama Melody. Namun kakak kandung dari Pria tersebut, juga mencintai gadis itu. Di akhir cerita, Pria itu merelakan Melody untuk kakaknya yang Ia sayangi. Nama Pria dalam novel itu adalah Divo. Di akhir buku itu, terdapat catatan kecil “Melody, MAAF.. aku telah mencintaimu dari kecil tanpa sepengetahuanmu.. Sekarang, aku sedang menunggumu di Taman Sora” –Sebuah Taman bermain, Tempat rahasia Divo dan Melody ketika kecil-
“Divo.. Apa kabar?.. Maaf .. membuatmu menunggu lama.. Liat, aku sekarang aku sudah menjadi sarjana sastra Tokyo University.. Aku sudah menerbitkan 5 buku, itu berarti aku sudah mengalahkanmu” Lirih Melody sambil menatap Divo lekat.
“Divo.. Janji ku sudah aku penuhi, Membawa Melody ke sini dan... –suasana menjadi hening untuk sesaat- bulan depan, seperti permintaanmu,, kami akan menikah.. Kamu harus bahagia di sana” Kak.Doni menaruh rangkaian bunga di samping batu nisan bertuliskan ‘Divo R. Pratama bin Vino G. Pratama’.
Tepat di hari itu, sepulang Divo mengantar Melody dari Rumah panti, Taksi yang ditumpangi Divo mengalami kecelakaan. Ketika melewati jalan  lampu merah, dari arah berlawanan sebuah Bus besar dengan kecepatan tinggi menabrak Taksi tersebut. Divo tak sadarkan diri selama seminggu, sebelum Ia pergi ke tempat yang sangat jauh. Sehari sebelum kejadian itu, Divo bercanda dengan Kakak yang ia sangat sayangi.

“Kak, kalau gak sama gue, Melody harus nikah ama elo ya” Celetuk Divo ketika menonton TV.



“Gue kan kemarin udah bilang ngalah ama elo”



“Ya.. mungkin kalau gue pergi”



“Emang Lo mau pergi kemana?”



“Ya.. sapa tau, gue mau pergi ke tempat Bunda”



“Hahaa.. Apa’an sih Lo, Hidup masih panjang kali”



“Gak ada yang tau Kak.. Gue besok pengen di makamin di samping makam Bunda”



“Ya.. terserah elo deh”

 

END--------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar