Cerpen
Written : Rike Riszki Yunitasari
Genre : Romance, fiction
Written : Rike Riszki Yunitasari
Genre : Romance, fiction
Disuatu waktu sebuah
musibah besar terjadi pada ku, bukan padaku saja. Melainkan terjadi pada
keluarga besar panti. Seorang malaikat telah meninggalkan kami semua. Tentu,
kami sangat terpukul dan mengalami masa suram yang berlarut-larut. Kami belum
bisa merelakan Bunda pergi meninggalkan kami. Saat itulah seluruh ‘keluarga’
kami berkumpul. Rumah yang memang ramai, kini menjadi sangat ramai. Mereka
berdatangan dengan muka duka cita yang sangat dalam. Tak terkecuali Mereka, kedua orang sahabatku.
Mereka datang membawa Rangkaian bunga duka cita untuk bunda. Namun. Hari ini, aku hanya
sempat melihat saja,
sahabat kecilku yang sangat aku rindu.
Keesokan harinya, ketika semua orang
dirumah sibuk membereskan rumah dan mencoba saling menghibur satu sama lain.
Sebuah mobil berhenti di halaman rumah. Ternyata Mereka datang lagi. Mereka membawa
beberapa bungkusan plastik putih besar di tangan kanan dan kiri mereka.
“Melody.. Tolong bantu kak Hikmah
nyiapin ini” Ucapan kak Doni ke arahku. Hanya itulah, kalimat pertama yang Ia
ucapkan padaku ketika sudah tiga tahun tak bertemu sama sekali. Kini aku sudah
memasuki tahun kedua di SMA, tentu aku sudah bisa bersikap dewasa. Aku menuruti
ucapan Kak Doni. Menyiapkan berbagai makanan untuk makan kita bersama.
Seharian ini, tenaga ku terkuras dengan
aktifitasku di dalam rumah. Rasa lelah di tubuh ini tak sebanding dengan rasa
lelah di hati ku. Rasa lelah merindukan sosok bunda yang selalu memberi
kehangatan di setiap hariku. Walaupun baru sehari bunda pergi, rasanya aku
sudah sangat merindukannya. Suara dentuman langkah kaki mendekatiku. Aku masih
terdiam menikmati senja sore di teras samping rumah.
“Apa kabar Cantik” Suara itu menarik
perhatianku untuk melihat seseorang yang telah duduk di sampingku.
“Kak Doni” Singkatku tersenyum.
“Hahaa.. Gimana kabarnya cantik?”
“Menurut kakak?” Sapaan cantik untukku
tentu membuat kedua pipiku memerah karena malu, karena memang kak Doni adalah
Pria yang sangat tampan. Tubuhnya tinggi dan tegap. Kulitnya bersih dan putih
sama seperti Dovi. Namun aku tetap mencoba tenang dan Aku kembali menatap
langit senja yang lebih menarik perhatianku.
“Aku merasa bersalah dengan Bunda,
seharusnya aku mengunjunginya lagi sebelum beliau pergi” Desah Kak Doni sambil
ikut menatap langit senja.
“Kak Doni memang orang jahat”
“Hey..” Kak Doni mencubit hidungku.
“Minggu kemarin, waktu kamu Study Tour, kami ke sini” Kak Doni
berkata sambil tertawa. Aku hanya membalasnya tersenyum.
“Melody,
Tolong beli’in Cemilan di luar” Suara Kak Hikmah dari belakang kami, membuat
mood ku sedikit berkurang. Aku hanya sedikit memutar kan badan, dan hanya
melirik ke arah kak Hikmah .
“Yah Kak.. Kan udah banyak makanan di
Rumah” Aku mencari alasan agar tidak berangkat.
“Adik-adik kamu pada minta makan
martabak cokelat.. Lagian sekalian beli vitamin di apotik.. Kan ada Doni.. Dianterin Doni aja..
Mau kan Don?” Kak Hikmah mulai jengkel padaku.
“Aduh Maaf kak.. Tangan ku kemarin
terkilir, belum sembuh total. Biar Divo aja yang ngaterin” Kak Doni mulai
bangkit dari duduknya.
“Melody.. Kamu siap-siap aja, biar aku
yang bilang ke Divo” Ucap Kak
Doni dengan begitu saja, berjalan ke dalam rumah. Aku yang masih merasa bingung
dengan apa yang akan aku lakukan, hanya terdiam dan mencoba menginggat terakhir
kali aku bertemu Divo. Waktu itu ketika aku pulang dari sekolah, melihatnya
membaca catatan buku diary ku. Aku sangat marah padanya.Mengutuknya untuk
menjauh selamanya dariku. Oh Tuhan.. waktu itu aku masih kekanak-kanakan. Andai
waktu bisa aku putar, aku ingin menarik lagi ucapanku.
“Kok masih bengong.. Udah ditunggu Divo
di mobil” Suara kak Doni membuyarkan lamunanku. Dengan perasaan masih tak
karuan, aku menuju ke arah salah satu mobil yang terparkir di halaman rumah.
Benar saja, disana sudah ada Divo yang menunggu di dalam mobil.
Tibalah kami disebuah mall
terbesar di kota ini. Kami berjalan
beriringan, namun sampai sekarang kita masih terdiam. Dia hanya mengikutiku
dari samping. Ketika aku berbelok, dia juga akan berbelok, ketika aku berhenti,
dia juga berhenti. Rasanya seperti berkeliling di mall bersama paneki berjalan.
Karena hanya pernah sekali aku mendatangi mall ini, aku hanya berjalan
berdasarkan feeling, mencari Bread Shop yang menyediakan makanan yang dipesan
kak Hikmah. Ini sudah lantai ke lima, namun Bread Shop yang aku cari tak
kunjung terlihat.
“Mau cari apaan sih?” Suara Divo di
sampingku membuat kakiku berhenti.
“Bread Shop” Jawabku sambil gugup.
“Bread Shop kan di lantai 2” Jawabnya
berdiri di depanku.
“Maaf..
Gak tau” Jawabku sambil menunjukkan senyuman
terpolos yang mungkin terlihat seperti senyuman yang terpaksa.
“Kenapa gak Tanya? Ikuti gue aja” Kini
Divo berjalan di depanku. Aku masih mengikuti langkah Divo hingga masuk di dalam Bread Shop.
Melihat deretan bermacam Roti, kue dan snack di meja-meja kaca. Dengan semangat
aku mengambil nampan dan penjepit untuk mengambil pesanan Kak Hikmah. Tak
tertinggal juga, aku memilih beberapa roti coklat favoridku. Nampan yang aku
bawa kini penuh dengan tumbukan roti,kue dan snack. Setelah meletakkan nampan
di meja kasir, muncul satu masalah besar yang baru aku sadari. Aku menarik
lengan Divo yang berdiri di pojok Bread Shop, dan membisikkan sesuatu yang
sangat serius.
“Divo, Aku lupa bawa dompet” Ucapku
sedikit panik. Divo hanya tertawa sebentar lalu menuju meja kasir.
“Makan dulu yuk” Ajak Divo ketika keluar
dari Bread Shop. Aku hanya mengangguk sekali. Kini, aku seperti mendapat
Sahabat kecil ku kembali. Divo ku telah kembali. Hubunganku dengan Divo mulai
membaik. Namun Divo yang sekarang sedikit berubah. Dia tlah menjadi pemuda
dewasa. Dia kini sudah menjadi Mahasiswa jurusan Hukum. Cara berpikirnya sangat
kritis dan memiliki logat bicara seperti orang kota.
“Itu sih urusan elo, gue gak ikutan ah”
Ucap divo ketika mulai menggodaku.
Sifat Divo yang dulu ternyata masih ada.
Sifatnya yang suka membuatku kesal,
namun kali ini aku tidak menanggis lagi, aku hanya menanggapinya dengan tepukan
di pundaknya ketika aku mulai marah. Setelah kepergian Bunda, Divo sering
berkunjung ke Rumah. Tak jarang pula dia menginap dirumah. Seakan muncul semacam energi positif dalam hidupku.
@@@
“Tiiiinnn….” Suara klakson mobil yang
berhenti di halaman depan Rumah membuyarkan lamunanku. Itu pasti suara mobil
seseorang yang sedang aku tunggu kedatangannya. Bergegas aku menghampiri mobil
berwarna hitam yang sudah parkir. Seorang lelaki dengan memakai setelan kemeja
panjang dan celana jeans berdiri di samping pintu mobil. Dengan senyuman lebar di bibirku,
aku setengah berlari ke arah lelaki itu. Lelaki itu mengulurkan kedua
tangannya, aku pun dengan senang hati mendaratkan pelukan rasa rindu padanya.
“Kenapa lama banget” Bisikku padanya
dengan masih memeluknya.
“Maaf.. Tadi mancet”
Aku melepaskan pelukanku dan menatap
lekat wajahnya yang sangat aku rindu.
“Berangkat sekarang yuuk” Ajaknya dan
dengan cepat aku mengangguk.
“Silahkan tuan putri” Lelaki itu
membukaan pintu untukku. Aku hanya tertawa dan masuk dalam mobilnya. Aku duduk
di kursi penumpang depan. Aku terus menatap lelaki itu yang sedang konsentrasi
mengemudi.
“Jangan diliatin terus.. Nanti aku grogi”
Ucap lelaki itu sambil terus menatap ke arah depan.
“Hahaaa” Aku hanya tertawa renyah dan
melempar pandanganku ke depan.
“Emang udah Kangen banget ya?” Tanya
lelaki itu.
“Um.. Kita udah sebulan lebih gak
ketemu”
“Bukan ama aku, tapi ama Divo” Tak ada
jawaban yang keluar dari bibirku selain senyuman. Aku melempar pandanganku ke
luar jendela sampingku. Terlihat ruko berwarna-warni berjejer rapi di pinggir
jalan. Tak sedikit segerombolan orang yang sedang duduk di bawah pohon besar
untuk berteduh dari panasnya cahaya matahari. Siang yang panas. Seperti siang
pada waktu itu. Terik matahari tak segan-segan membakar kulit, aku dan Divo
berjalan di atas trotoar. Kami dalam
perjalanan pulang dari tempat kerja kak Hikmah. Kami
mengobrol banyak hal, mengenang masa lalu, berbagi pengalaman, bercerita
tentang ‘Rumah’ kami, dan mengomentari hal-hal kecil di sekitar kami. Ditengah perjalan, kami mampir di sebuah food court mall
yang kami lewati. Setelah kami makan, Divo memintaku
menunggu di meja food court, sedangkan dia akan membeli beberapa buku.
“Beneran nih, gak perlu ditemenin?”
Sekali lagi aku menawarkan bantuan.
“Gak usah.. Tunggu aja bentar” Ucapnya
sambil bergegas pergi dari kursi di hadapanku. Tak lama, Divo kembali dengan membawa
kantung plastic putih di tangannya. Itu pasti buku-buku kuliahnya.
Hari sudah beranjak sore, kami
memutuskan untuk
pulang. Dengan mengunakan taksi, Divo mengantarkanku hingga di depan halaman
rumah.
“Aku langsung pulang aja ya, lagi banyak
tugas” Pamit Divo.
“Iya.. Hati-hati yaa”
“Oya.. Ini buat kamu” Divo menyodorkan
sebuah buku yang terbungkus kantung plastic putih.
“Buku ini bagus kok.. Baca aja” Divo
lagi-lagi tersenyum sangat manis, senyuman yang sangat aku suka.
“Makasih” Singkat ku dan keluar dari
dalam taksi. Aku melambaikan tangan pada taksi yang semakin menjauh dari ku.
Aku terus menatap taksi itu hingga menghilang dari pandanganku. Namun aku masih
berdiri di tempat, masih menatap ke depan. Masih berdiri dengan penuh harapan,
taksi yang ditumpangin Divo memutar balik dan menuju ke arahku. Walaupun,
seharian penuh bersama Divo. Rasanya, Aku masih ingin bersama Divo. Berbicara
lebih banyak hal lagi dengan Divo, melihat lebih lama lagi senyuman manis di
wajah Divo, mendengar lebih sering lagi suara Divo.
@@@
Mobil Kak Doni akhirnya berhenti di
depan gerbang sebuah rumah yang sangat besar. Di Rumah ini lah, terakhir
kalinya aku bertemu dengan Dovi. Aku mulai masuk ke dalam rumah, dengan langkah
gontai. Kak Doni yang berjalan di belakang, sesekali menempuk pundakku memberi
isyarat, memastikan aku masih dalam keadaan baik-baik saja. Dari Jauh, tampak
Dovi yang terdiam menatapku. Di terus menatapku yang menuju ke arahnya. Ketika
jarak kami makin dekat, Dia tersenyum manis dan seolah-olah berkata ‘Kenapa
baru datang sekarang?’ ‘Aku sudah menunggumu lama’ ‘Aku sangat merindukanmu’.
Air mata dengan sendirinya mengucur deras. Aku duduk tersungkur tepat di
hadapan Dovi. Aku membelai kepalanya, mengusap badannya dan tersenyum padanya,
walaupun air mataku masih mengucur deras. Aku mengeluarkan buku yang Ia berikan
padaku di hari terakhir kali aku melihat senyumannya. Buku itu memiliki cover
berwarna putih dan tertera judul “I
Love My Melody”.
Itu adalah Novel karya terakhir yang ditulis Divo. Dalam buku itu bercerita
tentang rasa sayang Seorang Pria sejak kecil, dan berubah menjadi rasa cinta
pada gadis yang bernama Melody. Namun kakak kandung dari Pria tersebut, juga
mencintai gadis itu. Di akhir cerita, Pria itu merelakan Melody untuk kakaknya
yang Ia sayangi. Nama Pria dalam novel itu adalah Divo. Di akhir buku itu,
terdapat catatan kecil “Melody,
MAAF.. aku telah mencintaimu dari kecil tanpa sepengetahuanmu.. Sekarang, aku
sedang menunggumu di Taman Sora” –Sebuah Taman bermain,
Tempat rahasia Divo dan Melody ketika kecil-
“Divo.. Apa kabar?.. Maaf .. membuatmu
menunggu lama.. Liat, aku sekarang
aku sudah menjadi sarjana sastra Tokyo University.. Aku sudah menerbitkan 5
buku, itu berarti aku sudah mengalahkanmu”
Lirih Melody sambil menatap Divo lekat.
“Divo.. Janji ku sudah aku penuhi, Membawa Melody ke sini
dan... –suasana menjadi hening untuk sesaat-
bulan depan, seperti permintaanmu,, kami
akan menikah.. Kamu harus bahagia di sana” Kak.Doni menaruh rangkaian bunga di
samping batu nisan bertuliskan ‘Divo R. Pratama bin Vino G. Pratama’.
Tepat di hari itu, sepulang Divo
mengantar Melody dari Rumah panti, Taksi yang ditumpangi Divo mengalami
kecelakaan. Ketika melewati jalan lampu
merah, dari arah berlawanan sebuah Bus besar dengan kecepatan tinggi menabrak
Taksi tersebut. Divo tak sadarkan diri selama seminggu, sebelum Ia pergi ke
tempat yang sangat jauh. Sehari sebelum kejadian itu, Divo bercanda dengan Kakak yang ia sangat sayangi.
“Kak, kalau gak sama gue, Melody harus nikah ama elo ya” Celetuk Divo ketika menonton TV.
“Gue kan kemarin udah bilang ngalah ama elo”
“Ya.. mungkin kalau gue pergi”
“Emang Lo mau pergi kemana?”
“Ya.. sapa tau, gue mau pergi ke tempat Bunda”
“Hahaa.. Apa’an sih Lo, Hidup masih panjang kali”
“Gak ada yang tau Kak.. Gue besok pengen di makamin di samping makam Bunda”
“Ya.. terserah elo deh”
END--------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar