Cerpen
Written : Rike Riszki Yunitasari
Genre : Romance, fiction
Secarik foto itu masih ada digengamanku. Sudah sepuluh menit
aku menatapnya lekat. Sudah sepuluh menit foto itu keluar dari dalam kotak
persegi berwarna biru laut. Sudah sepuluh menit kotak yang terbiasa tersusun
rapi di dalam laci meja kini terletak di atas meja dengan keadaan terbuka.
Sudah sepuluh menit, tubuh ini hanya duduk terdiam, menyandar pada dinding
kamar yang cukup dingin. Hanya dalam sepuluh menit, kenangan yang selama empat
tahun telah terkubur dengan sempurna mencuat kembali dalam memory. Foto yang
terbiasa berada di dalam kotak dengan tumpukan barang-barang munggil, kini
hanya dalam sepuluh menit saja, berhasil membuat air mata mengalir deras dengan
bibir tersenyum lebar. Foto dua anak kecil di bawah pohon.
Rasanya baru kemarin, aku datang di rumah ini. Rumah yang
menjadi saksi bisu atas sejarah sebagian besar hidupku. Entah siapa dan
bagaimana wajah orangtua kandungku, aku telah lama lupa. Aku hanya ingat,
seseorang pernah menuntunku menuju rumah ini. Melangkah masuk, melewati gerbang
bercat hitam dengan tulisan “Panti Asuhan Mutiara Bunda” yang terpampang jelas
di bagian atas. Dari ambang pintu, tlah disambut senyuman ramah seorang wanita paruh
baya, yang pada akhirnya aku memanggilnya dengan sebutan ‘Bunda’. Kata Bunda,
aku datang sebagai anak yatim-piyatu. Orang tua ku, meninggal dalam kecelakaan
pesawat, dan seseorang yang mengaku sebagai wali ku, menyerahkanku pada Panti
Asuhan yang kini menjadi kampung halamanku.
Aku merebahkan tubuhku di atas kasur yang sangat aku rindu,
aku sangat menyukai rasa nyaman dan hangat ini. Dengan masih mengenggam foto
itu, aku mencoba mengingat kembali kenangan masa kecilku. Hari pertamaku datang
di Panti Asuhan ini adalah masa penyesuaian terberat bagiku, karena memang waktu itu umurku masih lima
tahun. Selama sehari penuh, aku hanya terdiam duduk di kursi pojok Ruang Tengah
dengan mata tertuju pada TV. Di Rumah yang tak luas ini, banyak sekali
anak-anak seusia ku berlari kesana kemari. Tak sedikit pula, kakak-kakak
berumuran belasan tahun, sibuk mengejar atau lebih tepatnya menangkap mereka
yang tak mau diam atau tak mau diatur. Hanya sosok Bunda yang aku kenal dan
terasa sangat peduli padaku. Beliau dengan telaten mengajariku bersosialisasi
dengan ‘keluarga’ lain ataupun mulai belajar hidup mandiri. Walaupun sebagian
besar aku lebih memilih untuk diam dan menundukkan pandanganku.
“Pletak!!”
Sebuah centilan mendarat di jidatku yang tertutup poni. Spontan aku mengangkat
kepalaku.
“Hahahaa”
Tawa seorang anak lelaki didepanku, terlihat begitu puas. Aku hanya menatap
tawa anak itu sambil mengusap jidatku yang cukup sakit.
“Kak
Divo! Jangan nakal.. Ini Melody, keluarga baru kita.. Adik baru kamu” Suara
Bunda sedikit jengkel tapi terdengar sangat lembut dan ramah. Melody adalah
nama pemberian bunda untukku. Bunda ingin aku bisa menjadi sebuah melody yang
indah untuk orang-orang disekitarku.
“Gak
mau Bunda.. Dia jelek!! Weekk” Anak lelaki itu menjulurkan lidahnya dan berlari
menjauh. Mataku dengan sendirinya berair dan entah kenapa suara tangisku
meledak begitu saja. Layaknya anak kecil pada umumnya, aku menangis dengan
histeris berpura-pura kesakitan, agar anak lelaki itu mendapat hukuman yang
berat dari Bunda. Akting ku memang berhasil, anak lelaki itu akhirnya mendapat hukuman. Mungkin karena kesal, anak lelaki itu sering menggangguku,
berharap aku kesulitan dan akhirnya menangis. Anak lelaki itu memang lebih tua
tiga tahun dariku. Tapi rasanya menyebutnya ‘kakak’ adalah pantangan untukku.
“Bundaaaa!!!Divo
Nakaall… Rambutku dijambak Divo!!! Huuaa~” Suara tangisan super dasyat ku, dari
halaman rumah. Seketika dari ambang pintu belakang, muncul Bunda berlari menuju
ke arah ku, tak tertinggal pula Kak Hikmah berlari disampingnya. Kak Hikmah
dengan sabar mengendong Divo menjauh dari ku. Dan dengan segera Bunda memelukku
dan menenangkan ku.
“Bundaaaa..
Divo Nakal.. Kakiku di injek Divoo!!!....” Teriakan histerisku dari kamar yang
mungkin bisa terdengar oleh seluruh penghuni Panti.
“Bundaaaaa…
Boneka ku di rusakin Divo…”
“Bundaaa…
Baju ku di pakek Divo..!!”
“Bundaa..
Kelinci ku di mati in Divo..!!!”
“Bundaaa…
Uang jajan ku di ambil Divo..!!”
Tiada
hari tanpa suara teriakan dan isak tangis histeris ku karna ulah Divo. Tapi
entah kenapa, semakin lama, aku terasa sudah terbiasa dengan kebiasaan itu.
Sehari tanpa tangisan ulah divo, rasanya sangat aneh. Hari terus berlalu, bulan
terus berlanjut, dan tahun terus berjalan. Kini aku sudah memasuki Sekolah
Dasar. Dan aku lupa sejak kapan, kini aku, Divo dan Kak Doni adalah sahabat
yang selalu bersama. Kak Doni adalah kakak kandung Dovi yang berusia dua tahun
lebih tua dari Dovi. Walaupun sifat Dovi yang masih suka membuatku menangis,
tapi keberadaan Kak Doni seperti malaikat bagiku, dia selalu melindungi dan membela ku.
“Bundaaa..!!!
Sepatuku di masukin kolam… Bunda Divo Nakal..!!” Suara tangisku dari samping
kolam ikan munggil di halaman rumah membuat beberapa orang berlari ke arahku.
“Hahaaa..
Dasar Cengeng… Hahahaa” Suara tawa Divo puas membuat tangisanku semakin
menjadi-jadi. Kak Doni yang datang pertama sambil membawa tongkat kayu, dengan
segera berusaha mengambil sepatu ku yang terapung-apung di kolam kecil. Tangan
kecil Kak Doni kesana kemari berusaha menggapai sepatu ku yang sudah berada di
tengah kolam.
“Ini
sepatunya.. Jangan nangis lagi” Kak Doni berdiri di depanku, dengan menyodorkan
sepatu ku yang telah basah menggunakan tangan kanannya.
@@@
Itulah lembaran baru masa kecil yang teringat di benakku. Aku
melangkah ke arah halaman samping rumah. Teras ini, dan halaman luas di depanku ini. Dulu begitu banyak kenangan
disini. Di tengah halaman, masih berdiri gagah sebuah pohon linden besar dengan
sebuah kursi panjang dan kolam ikan kecil dibawahnya. Dan aku masih sangat
ingat, hari dimana aku berpisah dengan sahabat masa kecilku, Dovi dan Kak Doni.
Pagi itu adalah hari libur, kami melakukan aktifitas bersama di bawah pohon
Linden yang cukup besar. Dengan mengelar tikar di atas rumput, kami
mendengarkan suara petikan gitar Kak Doni dan sesekali ikut bernyanyi dengan
ditemani buku-buku yang sedari tadi berada di pangkuan kami masing-masing.
Suara mobil berhenti di depan Rumah kami. Dan tak lama, Bunda muncul dari pintu
samping rumah, Beliau melambaikan tangan pada kami. Kami pun, secara
bersama-sama menghampirinya. Beliau tersenyum lembut dan mengelus rambut kami bergantian.
“Ada
yang ingin bertemu dengan kalian” Senyuman bunda terlihat sangat nyaman di mata
kami. Bunda membawa kami ke ruang tamu. Disana, telah ada seorang wanita cantik
yang kira-kira berusia sama dengan Bunda, dan seorang lelaki tegap, gagah
mengunakan setelan jas tersenyum pada kami. Terlihat Kak Hikmah yang duduk
disamping wanita itu, berdiri menghampiri kami.
“Bapak,
Ibu.. Ini Doni, Melody dan Dovi..”Kak Hikmah memperkenalkan kami. Wanita itu
menghampiri kami. Dan tanpa alasan memeluk kami sambil menangis lirih. Divo
yang merasa risih, dengan segera memberontak.
“Sayang…
Ini Mama.. Ini Mama Divo… Ini Mama Doni…” Suara lembut wanita itu sambil
bergantingan memandangi sahabat-sahabatku. Sedangkan aku? Aku sama sekali tak
dilihatnya. Bahkan tak sekali pun, dia menyebut namaku. Aku masih berdiri
diantara Kak Doni dan Dovi. Namun berlahan, aku mundur selangkah dan meraih
tangan Bunda yang berdiri di belakang kami.
“Melody..
Itu Tante Widia dan Om Vino, Mama Papa Kak Doni dan Kak Divo..” Bunda
menjelaskan pelan ke arahku.
“Papa
Mama Kak Doni dan Kak Divo, juga akan jadi Papa Mama Melody..” Bunda meneruskan
ucapannya. Terlihat matanya berair, seakan menahan air matanya untuk tidak
jatuh. Keadaan seperti ini, sudah bisa aku pahami sebagai seorang gadis yang
sudah duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Aku mulai melangkah mundur,
dan melepaskan genggaman tangan bunda. Aku hanya tersenyum dan menggelengkan
kepala. Kaki ku dengan sendirinya melangkah cepat menjauh dari mereka. Aku
berlari ke halaman rumah. Aku berlari ke arah pohon Linden tadi. Aku
menyembunyikan tubuhku di balik batang pohon linden yang besar. Hanya Suara samar adik-adik kecil baru ku yang
mengumam dari teras rumah yang terdengar di telingaku. Entah kenapa, air mataku
mengalir deras. Entah kenapa, aku menangis hingga sesengukan. Entah kenapa,
dadaku terasa sesak. Entah Kenapa, seakan hari ini cerita kehidupanku akan
selesai.
“Melody”
Suara Kak Doni yang ternyata sudah berdiri di sampingku.
“Kata
Bunda, Orang tadi adalah orang tua kami” Kak Doni mulai menjelaskan situasi
yang sedang terjadi.
“Dulu,
kata Bunda.. Aku dan Divo terpisah dari Orang Tua kami.. Entah alasan apa yang
mereka utaran, aku tak peduli.. Aku merasa kesal, marah dan kecewa.. Kenapa
baru sekarang mereka mencari kami..” Kak Doni menghela napas panjang.
“Tapi..
mereka tetap orang tua kami.. Mereka datang, untuk menjemput kita…”
“Kamu..
Mau pergi bersama kami kan?”
Kalimat
Kak Doni seakan membuat dada ku semakin sesak. Suara tangisku sudah tak bisa
aku sembunyikam lagi. Kak Doni memelukku. Membiarkan bajunya basah karena air
mataku.
“Melody..
Kita gak mungkin pergi tanpa kamu” Kak Doni menenangkanku. Suara Napas Kak Doni
yang tak beraturan, bisa aku rasakan. Suara
detak Jantung Kak Doni dengan jelas, bisa aku dengar. Sepertinya, Kak Doni
tidak bohong. Dia terlihat tulus mengatakan ingin pergi bersamaku juga. Aku
mulai menenangkan diriku. Meredakan Tangisku. Mengatur Napasku. Menghapus Air
mataku. Dan melepas pelukan Kak Doni.
“Melody
udah gedhe kak.. Melody udah bisa ngerti.. Kak Doni dan Dovi harus pergi..
Melody disini akan menjaga Bunda..” Suaraku sedikit gemeteran.
“Tapi..
Aku ingin kita pergi bersama..”
“Enggak
Kak.. Melody ingin disini.. lagian kalau kakak pindah, Melody masih bisa ketemu
kakak kan? Kakak akan sering main kesini kan?”
“Tentu..
Setiap hari, aku dan Divo akan kesini. Melihat mu, melihat bunda, dan melihat
keluarga yang lain” Senyuman Kak doni seakan membuat ku lega.
Itulah.
Awal kami menempuh hidup sesungguhnya. Aku yang masih tinggal di Panti, menjalani
hidup seperti anak lainnya. Namun Divo dan Kak Doni, entahlah. Aku tidak tau.
Mungkin mereka tinggal dirumah yang mewah, mendapat fasilitas yang cukup, dan pindah
di sekolah yang lebih mahal. Awal mereka pergi, setiap dua hari sekali mereka
datang ke panti, lambat laun menjadi seminggu sekali, dan sebulan sekali. Dan
akhirnya beberapa bulan sekali. Hingga, entah beberapa bulan sudah
mereka tak pernah berkunjung lagi. Namun hari-hari ku tetap berlanjut seperti biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar